Senja Temaram

Bimoalfonsus
2 min readOct 26, 2020

Halo puan, apa kabarmu di sana? Semoga yang terbaik yang kudengar. Sudah berapa ratus menit sejak itu kita berpisah. Aku sangat rindu, jujur. Oh ya, bagaimana keadaanmu akhir-akhir ini? Apakah hari-hari itu berat? Tidak apa, tenang saja aku tahu dan percaya semua akan baik-baik saja, saat ini dirimu sedang dibentuk.

Kala visual yang menjadi jalan satu-satunya, dari ruangan paling gelap aku sampaikan beribu terima kasih untukmu, untuk semua tanggapanmu, perhatianmu, dan dukunganmu dan semuanya benar-benar berarti bagiku, itu semua membuatku semakin ‘ada’ bahkan ‘hidup’. Namun berjanjilah, ini bukan perpisahan! Aku ingin mengarungi semua hal bersamamu! Aku mohon, izinkan aku.

Kusampaikan satu hal, wahai puan..

Aku tidak terbiasa akan jatuh cinta. Jatuh cinta bagiku menyakitkan, aku tidak bisa membedakan di mana sesak yang datang ini adalah ingatan tentang sedih di masa lalu ataukah karena ketertarikanku dari bawah sadar terhadap seorang puan. Distraksi memang nyata dan mengganggu, bukan? Untuk itu, kuharap agar ini adalah yang terakhir. Lihat saja tingkahku waktu itu, bodohnya aku di depan layar, nampak sekali untuk berharap namun hampir terulang lagi untuk komitmen payah.

Ada apa, puan? Apakah kamu mulai merasakan suasana ini? Begitu alami — aku terka memang benar adanya. Sehingga, aku paham, mengapa puan menarik diri. Wahai puan, aku bahkan belum sempat menemuimu. Jadi, masihkah mungkin secerca harap akan memihakku? Mungkinkah pintu hati akan dibukakan lebar? Aku rasa salah bila yang terjadi malah menyakiti dan mengubah perilakumu. Sebuah kesalahan. Sesal.

Namun, jikalau tidak, tolong. Tolong, katakanlah dengan lantang, aku harap buat semua ini semakin jelas. Jangan sungkan untuk menolak, karena semakin jelas kekurangan di permukaan untuk dibuang. Secara implisit mungkin yang kumaksud, namun itu perkara sulit bagiku untuk tutupi semua — membludak, buatmu bingung, dan kecewa, dan menjadi abai.

Jika pil pahit itu yang kembali ‘kan kutelan perlahan, setidaknya sejak detik ini pula aku nyatakan kesiapan penuh — untuk menghargai apapun keputusanmu —menjadikannya sebuah penolakan yang manis.

Kusampaikan hal lain, wahai puan..

Semoga kian tercapai nan manis yang kamu peroleh dari segala usaha, waktu, dan asamu. Puan, terima kasih telah menjadi bagian dalam sejarah hidupku, proses dewasa, dan setiap ekspresimu padaku. Begitu indah, walau hanya sesaat.

Sekali lagi, puan, aku sampaikan terima kasih, terima kasih!

:’)

Teruntuk…

--

--